Simbah Wongsorejo, atau juga dikenal sebagai Wongso-Sakidin (diperkirakan lahir tahun 1890-an), adalah profil seorang petani sukses pada jamannya, sekaligus seorang tuan tanah di wilayah sekitar Desa Puncel (sekitar tahun 1930-an), Kecamatan Dukuhseti, Kota Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
![]() |
Peta Lokasi Tayu, Kabupaten Pati |
Dari peta di atas, letak lokasi Tayu berada di pesisir utara menghadap Laut Jawa, berada di Timur Laut Gunung Muria, berada di utara Kota Pati. Oleh karena itu, komposisi masyarakat Kota Tayu sebagian bermata-pencaharian nelayan, sebagian sebagai petani yang mengandalkan kesuburan tanah pada lereng Gunung Muria.
Sepanjang lingkar lengkung pesisir dari Jepara, Tayu, sampai Rembang ini, konon pada awal mula masuknya orang-orang Eropa (Abad-XVI awal) ke Nusantara, banyak pasukan Portugis yang mendarat di sepanjang pesisir tersebut dan yang tinggal serta mendirikan benteng pertahanan di sekitar wilayah pesisir utara tersebut. Oleh karena itu, tidak asing lagi jika saat ini kita dengar cerita ada beberapa generasi hasil kawin campuran antara orang Portugis dengan orang Jawa di sekitar pesisir tersebut.
Untuk saat ini, jika ditracking memakai fasilitas Google Map, jarak antara Desa Puncel menuju Benteng Portugis (Portuguese Fort) hanya sekitar 7,4 km (Puncel-Benteng Portugis). Benteng itu sendiri masuk wilayah Kabupaten Jepara. Lihat gambar di atas ini.
![]() |
Foto Mbah Wongso, sekitar tahun 1940-an (?) |
- Warsini (+Pr), kode keturunan 1.
- Soeratmi (+Pr), kode keturunan 2.
- Surojani/Sarjani (+Lk), kode keturunan 3.
- Soetomo (+Lk), kode keturunan 4.
- Soelastri (+Pr), kode keturunan 5.
6. Soekadar (Lk), kode keturunan 6.
Dalam situs ini ada gambar logo harimau atau macan putih. Gambar itu setidaknya mengingatkan kepada cerita banyak orang pada jaman itu, bahwa Mbak Wongso konon memiliki ilmu kesaktian yang bisa merubah diri seolah-olah nampak terlihat oleh mata orang lain seperti seekor Macan Putih, terutama jika beliau sedang berjalan pada malam hari, misalnya saat berkeliling rumahnya, atau saat berjalan keliling kebun, sawah, atau tanah-tanah penguasaannya.
Terkait dengan macan putih, menurut cerita rakyat seputaran Gunung Muria (Jepara, Tayu, Pati, Kudus, dll), sejak jaman Belanda dulu, binatang jenis macan putih memang dipercaya sebagai binatang yang punya kekuatan magis dan lebih ditakuti dibanding binatang lainnya. Baca kisah Markas Komando Macan Putih yang berperang melawan Belanda. Baca juga di situs Pemerintah Kabupaten Pati yang bercerita tentang adanya makam Begawan Abiyasa di bagian sebelah utara Gunung Muria (konon salah satu nabinya orang Hindu) yang kadangkala dijaga seekor macan putih di makam tersebut.
Menurut cerita masyarakat, Mbah Wongso juga dihormati masyarakat sekitarnya karena orangnya murah hati, suka menolong orang kesusahan/melarat, mendamaikan pertengkaran suami-istri, juga dikenal sebagai penyembuh orang sakit (orang sekitar lebih menyebutnya dukun).
Menurut cerita masyarakat, Mbah Wongso juga dihormati masyarakat sekitarnya karena orangnya murah hati, suka menolong orang kesusahan/melarat, mendamaikan pertengkaran suami-istri, juga dikenal sebagai penyembuh orang sakit (orang sekitar lebih menyebutnya dukun).
Selain itu, Mbah Wongso juga disegani (baca: ditakuti) oleh petugas-petugas pajak di jaman Belanda yang biasanya menarik pajak di desa tersebut. Beliau sering berkomunikasi secara baik-baik dengan orang-orang Belanda dalam rangka negosiasi. Oleh karena itu masyarakat mengenal Mbah Wongso kumpulannya orang Belanda karena kalau menghadapi Belanda tidak pernah takut.
Beberapa petani kecil yang bermasalah dengan petugas Belanda (karena kekerasan dan kekejaman sistem tanam paksa), mereka minta tolong kepada Mbah Wongso untuk menghadapi petugas-petugas Belanda tersebut. Tidak heran jika masyarakat mengenal Mbah Wongso sebagai pengacara orang kecil (istilah dulu "Pokrol").
Beberapa petani kecil yang bermasalah dengan petugas Belanda (karena kekerasan dan kekejaman sistem tanam paksa), mereka minta tolong kepada Mbah Wongso untuk menghadapi petugas-petugas Belanda tersebut. Tidak heran jika masyarakat mengenal Mbah Wongso sebagai pengacara orang kecil (istilah dulu "Pokrol").
Pada bilah gagang tongkat yang dipegang beliau (lihat foto di atas), jika ditarik atau dihunus dan dilepas dari rangkanya, adalah sebilah keris atau pisau panjang sebagai senjata pembelaan-diri. Harap dimaklumi, bahwa kondisi keamanan di desa-desa pada saat itu tentu tidak se-aman atau senyaman jaman sekarang, jadi senjata untuk pembelaan diri (misalnya saat piket keliling desa), sangat diperlukan saat itu.
Apalagi pada jaman itu (sekitar pertengahan tahun 1800an sampai awal 1900an), Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan peraturan adanya Tanam Paksa (atau Cultuurstelsel), dimana jaman itu makin membuat rakyat makin melarat dan banyak merebak kejahatan di desa-desa, karena rakyat kesulitan ekonomi, rakyat tidak suka atau ingin berontak pada sistem tanam paksa Belanda. Cuplikan berikut ini bisa memberikan gambaran sekilas kondisi waktu rakyat jaman Mbah Wongso hidup pada awal tahun 1900-an:
"Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditas tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada 1835 hingga 1940".
(Source: Cultuurstelsel)
Seperti tulisan dari berbagai sumber, pada tahun 1825 - 1830 Pemerintah Hindia Belanda amat sangat kerepotan menghadapi serangan-serangan gerilyawan pasukan Pangeran Diponegoro yang meluas di tanah Jawa. Orang-orang Tionghoa/China dan pribumi Jawa di sekitar Pati, Rembang, Lasem, dan sebagian besar masyarakat Jawa Pesisir Utara (termasuk daerah pesisir Tayu dan Jepara), juga ikut berperang sebagai pasukan Diponegoro dan mendukung/men-supply logistik (bahan makanan) kepada pasukan Pangeran Diponegoro. (Note: Oleh karena itu, tidak heran jika di daerah tersebut masih banyak tersisa semangat para pengikut Pangeran Diponegoro yang berjiwa militan, terutama untuk orang-orang generasi tuanya).
Perang itu, oleh masyarakat dunia dikenal sebagai Perang Jawa, karena memang merupakan perang terbesar dan meluas hampir di seluruh tanah Jawa. Akibat dari Perang Jawa, selain sempat menewaskan pasukan Pangeran Diponegoro (orang Jawa) sebanyak 200.000an, dan pasukan Belanda 15.000an (8.000an orang Belanda dan 7.000an orang pribumi yang dibayar Belanda sebagai tentaranya), kondisi keuangan (ekonomi), Belanda juga mengalami defisit keuangan akibat membiayai Perang Jawa dan Perang Padri di Sumatera Barat yang hampir bersamaan. Maka dari itu, setelah perang berakhir, Pemerintah Hindia Belanda yang sudah merasa aman berkuasa di Jawa, ingin mengembalikan kondisi ekonominya dengan menerapkan Strategi Tanam Paksa (1835-1940, atau se-abad lebih).
Perang itu, oleh masyarakat dunia dikenal sebagai Perang Jawa, karena memang merupakan perang terbesar dan meluas hampir di seluruh tanah Jawa. Akibat dari Perang Jawa, selain sempat menewaskan pasukan Pangeran Diponegoro (orang Jawa) sebanyak 200.000an, dan pasukan Belanda 15.000an (8.000an orang Belanda dan 7.000an orang pribumi yang dibayar Belanda sebagai tentaranya), kondisi keuangan (ekonomi), Belanda juga mengalami defisit keuangan akibat membiayai Perang Jawa dan Perang Padri di Sumatera Barat yang hampir bersamaan. Maka dari itu, setelah perang berakhir, Pemerintah Hindia Belanda yang sudah merasa aman berkuasa di Jawa, ingin mengembalikan kondisi ekonominya dengan menerapkan Strategi Tanam Paksa (1835-1940, atau se-abad lebih).
Ditinjau dari etimologis (ilmu yang mempelajari asal kata), atau Toponimi (ilmu yang mempelajari asal nama suatu daerah), asal mula nama PATI, kata Pati berarti tepung, pati juga berarti intisari/pati-sari, artinya merujuk pada pengertian pati-sari dari pulau Jawa, pati juga berarti kematian.
Jadi kota Pati makanya sering dijuluki kota mati, kotanya para pensiunan, tapi juga dikenal sebagai daerahnya seribu paranormal, karena di Pati inilah banyak orang sufi yg sudah mati kanuragan/raga, bertapa dan ngembangkan atau olah spiritual, olah ilmu putih (bahkan ilmu hitam), daerah para ahli klenik, daerah para ahli magis, daerah mistis, daerahnya para dukun, paranormal.
Orang-orang tua yang berasal dari Pati sampai kini dikenal sebagai orang dari daerah klenik, bahkan konon kaum sufi/ilmunya orang-orang kraton/kasunanan di Jateng selatan maupun Banten, pun masih kalah dengan orang Pati. (Baca juga kisahnya Sunan Muria).
Jadi wajar kalau Mbah Wongso pada jamannya dulu (yang berasal dari Desa Puncel, Kec.Dukuhseti-Tayu yang masuk wilayah Pati), juga dikenal sebagai orang yang Ahli Olah-Spiritual. Atau orang yang sudah bisa memafaatkan Indra ke-6, atau dunia spiritual.
Dalam konteks teologia kontekstual, apa yang dilakoni Mbah Wongso itu tidak serta-merta bisa disimpulkan bahwa Mbah Wongso menganut okultisme atau ilmu hitam, klenik, atau sejenisnya. Dalam kitab Perjanjian Baru sebenarnya juga sarat dengan praktek-praktek kaballaism atau ilmu kebatinan yang dijalankan para rasul, bahkan Yesus sendiri.
Kini, seiring dengan waktu dan pengaruh filosofi pragmatisme, para rohaniwan modern yang hanya menjalani praktek kehidupan rasionalisme dan asah batinnya tumpul, seringkali mereka hanya bisa melontarkan tuduhan bahwa olah-batin itu tabu dan mendiskreditkan atau menstempel bahwa orang Kristiani yang memiliki kepekaan kebatinan dianggap menyimpang dari ajaran iman.
Sekedar sebagai rujukan pengetahuan kita bersama dalam penelusuran silsilah atau keturunan di blog ini, berikut adalah cuplikan tulisan tentang tingkatan generasi dan sebutannya (based on Javanese version):
Keturunan ke-2. Putu, atau disebut Cucu (kode angka 2 digit)
Keturunan ke-3. Buyut, atau disebut Cicit (kode angka 3 digit)
Keturunan ke-4. Canggah (kode angka 4 digit)
Keturunan ke-5. Wareng (kode angka 5 digit)
Keturunan ke-6. Udhek-udhek (kode angka 6 digit)
Keturunan ke-7. Gantung-Siwur
Keturunan ke-8. Cicip-Moning
Keturunan ke-9. Petarangan-Bobrok
Keturunan ke-10. Gropak-Senthe
Keturunan ke-11. Gropak-Waton
Keturunan ke-12. Cendheng
Keturunan ke-13. Giyeng
Keturunan ke-14. Cumpleng
Keturunan ke-15. Ampleng
Keturunan ke-16. Menyaman
Keturunan ke-17. Menya-menya
Keturunan ke-18. Trah-Tumerah
(Source: Tingkatan dan Sebutan Keturunan)
Informasi keturunan di blog ini bersifat dinamis, artinya data ini tentu akan terbuka untuk selalu di-update sesuai temuan penelusuran di lapangan, jumlah kelahiran, maupun kematian. Hal ini dimaksudkan agar para generasi penerus satu-darah dari keturunan Mbah Wongso tidak "kepaten obor" atau tetap tersambung tali-silaturahmi dan saling mengenal walau posisi mereka berjauhan. Saat ini (Feb-2021), keturunan dari Mbah Wongso satu-satunya yang masih hidup dan tinggal di Desa Puncel, Dukuhseti, Tayu, Pati, adalah Bapak Soekadar (anak bungsu dari Mbah Wongso).
Beberapa saudara sedarah dari Mbah Wongso (dari kakak atau adiknya) dan keturunannya ada juga yang masih tersambung tali-silaturahmi sampai sekarang, seperti misalnya keturunan dari Mbah Ngo Ngarno (yaitu kakak dari Mbah Sarni, istri Mbah Wongso, yang puya anak salah satunya adalah Ibu Sutarni yang menikah dengan Bpk. Soerawi, tinggal di Pecangaan), Mbah Juwari, Mbah Sapirah, Mbah Kromo (kakak dari Mbah Wongso, yang memiliki anak 9 orang, dimana salah satunya adalah Ibu Miyati Masrum, tinggal di Alasdowo-Dukuhseti, Tayu), dan lain-lain, yang akan diceritakan setelah ada hasil penelusuran selanjutnya.
Sebagai wadah mempererat tali silaturahmi antar Saudara keturunan Mbah Wongso, kita ada media-sosial intern berupa WA-Group. Untuk bergabung dalam WA-Group Trah-Wongso-Tayu, dipersilahkan para sedulur bisa kontak ke Admin WA-Group di nomor: +62 896-5172-0911 (Kurnia Budhi); +62 823-6935-4554 (Sukrohadi); +62 812-9906-865 (Etty Sulijanti); +62 857-8671-2785 (Wahyu Widiarti); +62 856-4022-1329 (Tri Dody Marianto); +62 895 3826 71424 (Sumardi).
Note:
(1). Untuk cerita-cerita lebih lanjut atau pengiriman foto yang terkait dengan keluarga besar Mbah Wongso dan keturunannya, atau informasi penting lainnya, bisa disampaikan ke WA-Group atau Admin Blog ini.
(2) Tanda (+) pada nama seseorang dalam silsilah ini sebagai kode bahwa pada saat pembuatan blog ini berlangsung, ybs sudah meninggal. Untuk tambahan data keturunan atau koreksi/input dari sedulur-sedulur, silahkan hubungi Admin atau tulis komen di bawah ini.
Salam Persaudaraan,
Admin/Feb-2021
(1). Untuk cerita-cerita lebih lanjut atau pengiriman foto yang terkait dengan keluarga besar Mbah Wongso dan keturunannya, atau informasi penting lainnya, bisa disampaikan ke WA-Group atau Admin Blog ini.
(2) Tanda (+) pada nama seseorang dalam silsilah ini sebagai kode bahwa pada saat pembuatan blog ini berlangsung, ybs sudah meninggal. Untuk tambahan data keturunan atau koreksi/input dari sedulur-sedulur, silahkan hubungi Admin atau tulis komen di bawah ini.
Salam Persaudaraan,
Admin/Feb-2021
Comments
Kalau tidak dimulai menuliskan sekarang, kapan lagi ? Selagi Saya masih hidup dan masih bisa menelusuri, agar generasi penerus setidaknya bisa melanjutkan dan tidak kehilangan jejak keturunannya. GBU, mas Bima & keluarga.