MENELUSURI NENEK MOYANG KITA

Homo-Erectus (Java Man)
1. PENGANTAR

Blog ini bertujuan utama untuk menelusuri sejarah dan mewadahi keturunan Trah Wongsoreja, atau dalam istilah Jawa disebut “Ngumpulke Balung Pisah” (Mengumpulkan Tulang Terpisah), dalam rangka mengikat kembali tali silaturahmi persaudaraan kita semua. 

Istilah “ngumpulke balung pisah”, lalu tulangnya siapa yang dikumpulkan? Apakah maksudnya “balung-balung buto” yang berserakan di sekitar Gunung Patiayam-Kudus yang sudah menjadi fosil itu? Apakah fosil Homo-Erectus di sekitar Gunung Patiayam adalah Simbahnya Simbah kita semua? Bagaimana kalau kita telusuri bersama?
Museum Arkeologi Patiayam, Jekulo-Kudus
Untuk itulah dalam edisi ini kita mengangkat isu tulang-tulang purba atau fosil yang berceceran di sekitar Gunung Patiayam. Sebab dengan mendalami isu “Balung Buto” (Tulang Manusia Raksasa) di Museum Arkeologi Patiayam, Kecamatan Jekulo, Kudus, kita bisa menelusuri asal-muasal keturunan kita semua, termasuk juga Simbah Wongsorejo di sekitar Pulau Muria pada Jaman Pleistosen dulu.

2. PEMBAGIAN JAMAN MENURUT GEOLOGI

A. Jaman Kejadian (Jaman Arkaikum) 

Berangkat dari teori Big-Bang (Ledakan Besar) dalam ilmu Cosmology, di mana di alam semesta dulunya terjadi peristiwa ledakan besar, lalu benda-benda serpihan itu selanjutnya mengalami konfigurasi energi, dari kondisi panas setelah ledakan, lalu mendingin dan terjadilah susunan konfigurasi siklus gerak orbit planet-planet, termasuk planet bumi adalah salah satu benda serpihan ledakan besar tsb juga mengalami proses konfigurasi energi, dalam dimensi ruang dan waktu tertentu.. 

Jadi proses konfigurasi di bumi ini diperkirakan berusia 2500 juta tahun silam. Pada jaman ini keadaan bumi belum stabil dan masih panas. Kulit bumi dalam proses pembentukan dan pada zaman ini belum ada tanda-tanda kehidupan.

Pembagian Jaman Menurut Geologi

B. Jaman Primer (Jaman Paleozoikum)

Diperkirakan berusia 340 juta tahun silam. Keadaan bumi belum stabil masih berubah-ubah, namun sudah ada tanda-tanda kehidupan, seperti kerang, ubur-ubur, hewan amphibi, hewan bertulang-belakang seperti ikan, dan hewan darat purba. 

C. Jaman Sekunder (Jaman Mesozoikum)

Diperkirakan berusia 140 juta tahun silam. Jaman ini mulai muncul pohon-pohon besar dan hewan-hewan besar, seperti: Dinosaurus, Atlantasaurus, Tyrannosaurus serta jenis burung-burung besar. Jaman ini juga banyak hewan amphibi dan reptil yang mendominasi bumi.

D. Jaman Tersier (Jaman Neozoikum-1)

Diperkirakan berusia sekitar 65 juta-55 juta tahun. Keadaan bumi semakin membaik, perubahan cuaca tidak begitu besar sehingga kondisinya lebih stabil dan kehidupan berkembang dengan pesat. Jaman ini juga ditandai berkurangnya jenis-jenis binatang besar dan telah hidup jenis-jenis binatang menyusui, yaitu kera/monyet. Selanjutnya mulai berkembang jenis kera yang berevolusi jadi manusia-purba.

E. Jaman Kuarter (Jaman Neozoikum-2)

Jaman ini muncul kehidupan manusia purba (Homo Erectus), flora purba, binatang vertebrata dan molusca purba. Jaman terdiri atas dua bagian, yaitu:

1. Jaman Pleistocene (Jaman Dilluvium)

Masa ini berlangsung kira-kira 3.000.000 tahun-10.000 tahun yang lalu. Keadaan alam pada masa ini masih liar dan labil karena silih bergantinya dua zaman, yaitu jaman Glasial, di mana terjadi meluasnya lapisan es di Kutub Utara (sehingga Eropa dan Amerika bagian utara tertutup es), dan jaman Interglasial, di mana terjadi temperature bumi naik dan lapisan es mencair kembali dan akibatnya permukaan air laut naik dan terjadi berbagai banjir besar di berbagai tempat, dan menyebabkan banyak daratan (benua) terpisah oleh laut dan selat.

2. Jaman Holocene (Jaman Alluvium)

Dimulai sekitar 10.000 tahun yang lalu sampai saat ini. Pada awal Jaman Holocene, sebagian besar es di kutub utara sudah lenyap, sehingga permukaan air laut makin naik menutup daratan rendah dan yang tersisa adalah seperti pulau-pulau di nusantara. Pada jaman ini hidup manusia yang disebut Homo Sapiens (Manusia Cerdas). Pada jaman mulailah terjadi perkembangan kebudayaan manusia yang pesat seperti sekarang ini.

F. Jaman Anthropocene (Saat ini)

Sekarang ini disebut jaman peralihan dari Jaman Holocene menuju Jaman Anthropocene, yaitu periode sejarah geologi yang dipengaruhi oleh ulah manusia dan berdampak sigifikan pada perubahan iklim dan ekosistem planet bumi. 

Istilah Antroposen pertama kali dipopulerkan Paul Crutzen tahun 2000. Memang masih banyak perdebatan ilmuwan, ada yang menyebutkan Jaman Antroposen sudah mulai sejak jaman revolusi industri (tahun 1800-an) dimana akibat aktivitas manusia, berdampak meluasnya karbon dan metana di bumi. Tapi pendapat itu dibantah, bahwa jaman Antroposen baru mulai 1945 saat bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima & Nagasaki, dimana partikel2 radioaktifnya berdampak meluas ke alam. 

Terakhir, kelompok pembahas Antroposen, tahun 2016 menyepakati, bahwa Jaman Antroposen dimulai tahun 1950, yaitu ketika terjadi akselerasi aktivitas manusia secara besar-besaran yang berdampak signifikan terhadap lingkungan, perubahan iklim, dan ekosistem di bumi. 

Dalam beberapa kali pertemuan para ahli di abad 21 ini, bahkan Crutzen sendiri, selalu mengingatkan, bahwa saat ini jangan bilang lagi jaman Holocene, saat ini kita sudah masuk ke jaman Anthropocene.  

3. GUNUNG PURBA PATIAYAM

Sebagai pemandu awal untuk memahami apa dan di mana itu wilayah Patiayam, di bawah ini kita bisa melihat peta beberapa gunung purba dari citra satelit di sekitar Pulau Muria. Dikatakan Pulau Muria, karena memang baru sekitar abad-15 lalu pulau itu bersatu dengan dataran induk Pulau Jawa, karena berbagai peristiwa geologis dan sedimentasi daratan.
 
Gunung Patiayam Purba (dalam lingkaran merah)

Gunung Patiayam, adalah gunung-api aktif pada jaman Pleistocene (sebelum Jaman Holocene), dan termasuk gunung tipe Kubah (Dome). Lokasinya terletak sekitar 18 km di sebelah timur Kota Kudus. Gunung ini kini berbentuk komplek perbukitan dan dari hasil penelitian sebelumnya disimpulkan sebagai kubah (dome) gunung berapi dengan puncak teringgi berada di Bukit Patiayam (350 m di atas permukaan laut). 

Dari kajian beberapa peneliti, Gunung Patiayam sejak jaman purba sedikitnya sudah pernah aktif (meletus) 4 kali sehingga bisa diketahui curahan laharnya dalam 4 area lelehan lahar atau 4 RIM (lengkung selubung yang tersusun) yang bisa dilihat di bawah ini
 
RIM 1, 2, 3, 4 Gunung Patiayam

Walaupun di beberapa lokasi struktur tanah atau jenis batuannya mirip dengan struktur letusan Gunung Lasem (yang sekitar 60 km jaraknya) dan mirip letusan puncak Gunung Muria yang sekitar 30 km), sedangkan asumsi bahwa lelehan lahar letusan gunung-api biasanya hanya mencapai kurang dari 10 km, maka bisa disimpulkan bahwa 4 RIM yang terbentuk di perbukitan Patiayam adalah hasil letusan Gunung Patiayam itu sendiri, dan bukan berasal dari gunung-api terdekat lainnya. 

Selain itu, komposisi litologi dan kemiringan sedimen menandakan bahwa sedimen tersebut diendapkan menyebar oleh erupsi gunung-api yang bersumber dari Satu-Titik. Pembuktian lain juga bisa dilihat secara geologis terhadap keberadaan fosil gunung-api di Patiayam dengan geomorfologi kubahnya, terhadap penemuan fosil manusia dan binatang purba yang tertimbun oleh endapan hasil lontaran material (bencana) gunung api. 

Dilihat dari lempeng tektonik yang mempengaruhi aktivitas gunung-api di komplek Patiayam diduga juga memiliki kesamaan fasa tektonisme dengan pembentukan Gunung Lasem dan Gunung Genuk karena aktivasi gunung berapi ini berjalan dalam umur yang sama. 

Dari peta 4 RIM (selubung yang tersusun) di atas, setidaknya bisa disimpulkan bahwa selama jaman Pleistocene, gunung berapi ini sangat aktif dan mengalami letusan minimal sebanyak 4 kali dengan endapan lahar yang keluar (meleleh) berbeda-beda arah setiap kali letusan. 

Hasil pengamatan citra satelit menunjukkan adanya bentukan-bentukan depresi menyerupai morfologi cincin kaldera; yaitu 4 bentukan depresi melingkar cincin kaldera, yang selanjutnya disebut Rim 1, Rim 2, Rim 3, dan Rim 4 yang masing-masing saling berpotongan (Mulyaningsih et al., 2008). 

Seorang peneliti, Zaim (1989), juga menyimpulkan bahwa komplek situs purbakala Patiayam merupakan kubah (dome) yang terbentuk pada Jaman Pleistosen (0,5 - 0,9 jtl). Bahwa kegiatan vulkanisme pernah berlangsung di Patiayam antara 2 jtl hingga 0,5 jtl, bersamaan dengan kegiatan vulkanisme Gunung Muria, sedangkan endapan lempung laut dan breksi bagian atas sebagian berasal dari daerah terangkat Karimunjawa, Bawean, Gunung Patiayam dan Busur Magma Jawa di selatan dan dari Blok Rembang. 

4. MUSEUM ARKEOLOGI PATIAYAM DAN MANUSIA PURBA

Tepatnya di Desa Terban, Kecamatan Jekulo, 18 km sebelah timur Kudus, terdapat Museum Arkeologi Patiayam, dimana selain di situ dipajang fosil-fosil fauna, juga ditemukan fosil hominid (fosil manusia purba) dengan segala artefak peralatan pada zaman peradaban purba. Letak Desa Terban adalah 500 meter dari pinggir jalan raya antara Pantura, antara Kudus-Pati (Lihat gambar di bawah ini).

Gapura Menuju Museum Diapit 2 Gading Gajah


Berangkat dari kajian di atas, karena Gunung Patiayam adalah gunung-api yang aktif di masa itu, maka saat itu sangat masuk akal jika tanah atau lingkungan di sekitarnya sangat subur sehingga banyak flora tumbuh di situ dan banyak menghutan. Implikasi dari kesuburan tanah ini, wilayah sekitar gunung ini dihuni oleh berbagai fauna (hewan-purba) dan hominid (manusia purba). Walaupun disadari pula bahwa konsekuensinya gunung-api ini pula yang juga menghancurkan kehidupan fauna dan manusia saat itu, yaitu terbukti banyak fosil fauna dan hominid yang ditemukan di situs purbakala Gunung Patiayam ini. 

Replika Homo Erectus di Museum Patiayam
Penelitian telah lama dilakukan di situs ini, mulai dari tahun 1931 saat peneliti asal Belanda Van Es menemukan 9 jenis fosil hewan vertebrata. Berikutnya hingga tahun 2007 berbagai penelitian dilakukan dan ditemukan belasan spesies hewan vertebrata dan tulang belulang binatang purba antara lain: 

1. Fauna yang bisa hidup pada daerah berhutan terbuka, seperti: 
Bos (Buballus); 
Paleokarabau vK. (Kerbau purba); 
Bos (Bibbos) 
Paleosondaicus (Banteng Purba); 
Cervus Zwaani (Rusa); 
Cervus Javanicus (Rusa Jawa); 
Muntiacus Muntjak (Kijang); 
Dubaisia Santeng (Antelop Jawa); 
Panthera Tigris (Harimau); 
Fosil Buaya dan Kura-kura 

2. Fauna yang hidup di hutan lebat dan basah (Tropivcal Rain Forest) seperti : 
Stegodon Trigonocephalus (Gajah Purba); 
Elephas sp. (Gajah); 
Rinocheros Sondaicus (Badak Jawa); 
Sus Brachygnathus (Babi). 

3. Fauna yang bisa hidup dalam air, seperti : 
Hexaprotodon Sivalensis (Kudanil); 
Cheloniidae (Kura-kura); 
Croccodyllus Osifragus (Buaya Muara); 
Croccodyllus Gavialus (Buaya Sungai). 
Replika Gajah Purba

Apabila dibandingkan dengan situs-situs kepurbakalaan lainnya, temuan fosil-fosil di Patiayam memiliki keistimewaan daripada fosil temuan di daerah lain karena sebagian fosil yang ditemukan bersifat utuh. Keunggulan komparatif situs Patiayam adalah fosilnya yang utuh dikarenakan penimbunnya adalah abu vulkanik halus dan pembentukan fosil berlangsung baik. Di sekitarnya tidak terdapat sungai besar sehingga fosil ini tidak berpindah lokasi karena erosi atau hanyut. 

Keadaan ini berbeda dengan situs purbakala lainnya, di mana fosil ditemukan pada endapan sungai sehingga diragukan asal lokasi yang sebenarnya dari fosil tersebut (sebab bisa terjadi fosil tersebut sudah terbawa arus sungai di jaman itu). Dari struktur kulit fosil di tempat lain yang sudah berbentuk bulat halus juga bisa sebagai tanda bahwa fosil sudah terbalut endapan lumpur selama proses evolusi.

Tabel Temuan Fosil Di Jawa
Situs Patiayam merupakan salah satu situs terlengkap. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya manusia purba (Homo erectus), fauna vertebrata dan fauna invertabrata. Ada juga alat-alat batu manusia dari hasil budaya manusia purba yang ditemukan dalam satu area pelapisan tanah yang tidak terputus umur sejak minimal satu juta tahun yang lalu. 

Tabel di atas menunjukkan bahwa 3 fosil temuan telah dicapai di situs Patiayam, yaitu: fosil fauna (tanda lingkaran), artefak (tanda segitiga), dan hominid (tanda silang) dan semua berada pada tempat yang sama dan jaman yang sama. (Lihat gambat tabel di atas). Ini artinya, Situs Patiayam lebih original, terkonsentasi dan komprehensif untuk menjelaskan asal usul peradaban manusia purba dan lingkungannya. 

Hanya sayangnya, sampai saat ini penelitian lebih lanjut dan mendalam belum intensif dilakukan karena keterbatasan anggaran/dana. Bahkan saat ini status pengelolaan Situs Patiayam masih menginduk pada pengelola Situs Sangiran yang lebih dahulu dikembangkan pemerintah dan diakui UNESCO sebagai cagar alam/budaya warisan dunia. 

Sepertinya ke depan masih sangat diperlukan penulis-penulis proposal penelitian untuk masuk ke situs Patiayam. Kalau selama ini Java-Man hanya dikenal oleh dunia dari situs Sangiran, ke depan tidak menutup kemungkinan peneliti-peneliti dunia akan berdatangan ke Patiayam dan Kudus akan sibuk dikunjungi pelancong dan peneliti dari manca negara. Sudah siapkah masyarakat Kudus?

"Simbah Berburu Lauk Dulu di Patiayam, Ya.."

Nilai penting pada Situs Patiayam berdasarkan kondisi dan potensi yang ada adalah nilai penting akademik, nilai penting ideologik, dan nilai penting ekonomik, terutama setelah adanya berbagai temuan perkakas dan manusia purba antara 2007-2010.

Situs Patiayam sebagai laboratorium alam memiliki nilai sejarah dan ilmu pengetahuan seperti arkeologi, paleoantropologi, paleontologi, dan geologi. Aspek ideologik sebuah warisan budaya adalah berkaitan dengan rasa kebanggaan atau untuk kepentingan jati diri sebagai bangsa pemilik warisan budayanya. 

Aspek penting ideologik akan dapat terwujud jika aspek akademik berhasil dicapai, sehingga aspek ideologis merupakan dampak positif atas kegigihan dalam upaya menonjolkan kepentingan aspek akademik. 

Kasus-kasus perdagangan fosil di Jawa akhir-akhir ini disebabkan oleh berbagai faktor pemicu, antara lain faktor sejarah, faktor ekonomi masyarakat di sekitar situs, faktor ketimpangan pemahaman tentang nilai-nilai penting fosil, dan faktor kondisi geografis yang terbuka luas sehingga menyulitkan pengawasan. Potensi ekonomi yang rendah dari sumberdaya alam di sekitar situs mengakibatkan masyarakat mengeksploitasi sumberdaya alternatif di sekitarnya untuk menopang hidup. Fosil yang semula dipandang sebagai benda unik yang tidak ditemukan di tempat lain, berubah potensinya menjadi benda ekonomi. 

Tingkat pemahaman masyarakat yang minim tentang nilai penting fosil, dibarengi dengan adanya minat dari pemilik uang, maka praktik jual-beli fosil sangat mudah terjadi. Di lain pihak, pengawasan sangat sulit dilakukan oleh pemerintah atau kepolisian karena pada umumnya dilakukan dengan cara yang rapi dan tersembunyi dari sentuhan hukum.
Contoh Display Perdagangan Fosil di Situs Online

Fosil-fosil di Patiayam yang berukuran besar itu, menurut masyarakat yang tinggal di sekitar situs belum pernah melihat bahkan tidak memahami makna benda berupa tulang berukuran besar itu, warga menanggapi dengan menyebutnya “balung buto”. Ketika berlangsung aktivitas pengumpulan fosil-fosil oleh pakar-pakar asing juga pedagang Tionghoa, warga sekitar hanya berfungsi sebagai buruh yang bisa diatur dan dibayar ala-kadarnya. 

Kalaupun warga memiliki pamrih, orientasi kepentingannya hanya pada motif ekonomi dengan cara menjual fosil hasil galian kepada pedagang Tionghoa yang katanya fosil itu digunakan sebagai bahan campuran obat. Di situs toko online, misalnya, bahkan terang-terangan ramai ditawarkan dijual fosil dari Patiayam dari harga ratusan ribu sampai fosil keong combong seharga Rp.7 jutaan (lihat gambar di atas).

Kalaupun pemerintah setempat mengeluarkan himbauan atau larangan penjualan fosil, itu pun baru berupa surat keputusan dari kepala dinas terkait yang kurang efektif jangkauannya ke publik, dan bukan berupa Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan DPRD setempat. Ini sangat disayangkan.

4. HOMO ERECTUS VERSUS HOMO SAPIENS 

Untuk memudahkan abstraksi pemahaman kita, perlu diingatkan bahwa Satuan Ukuran Waktu yang biasa dipakai untuk mendeskripsikan peradaban manusia adalah Abad (100 Tahun), sedangkan untuk satuan ukuran waktu geologis adalah Juta-Tahun. Artinya, dalam satuan geologis bisa terjadi lebih dari 10 ribu kali proses evolusi peradaban manusia dan ini cukup lama. Itulah sebabnya oleh beberapa ahli atau peneliti Palaentologi terkadang terputus memahami garis sambung keturunan dari Species Manusia yang telah mengalami waktu panjang berevolusi, sedangkan bukti-bukti pendukungnya belum terungkap semuanya. 
Homo Species (Manusia Purba dan Modern)
Singkatnya, sampai saat ini masih terjadi silang pendapat yang mempertanyakan bagaimana hubungan keturunan dari Homo-Erectus (Manusia Purba) dengan Homo-Sapiens (Manusia Modern yang sudah dikategorikan sebagai spesies manusia yang cerdas).

Ada banyak teori untuk mengungkapkan hubungan garis keturunan itu, tapi sampai kini belum terdukung bukti-bukti temuan yang jelas dan masih ada sisi kosong dengan pertanyaan: Apakah Homo-Erectus adalah moyang dari Homo-Sapiens? 

Beberapa ahli palaeontologi telah berusaha untuk menunjukkan bahwa Homo-Erectus bukan moyang morfologis yang cocok untuk Homo-Sapiens dilihat dari struktur anatominya, karena struktur tempurung kepala (isi otaknya) berbeda. 
Homo-Sapiens tertua ditemukan di Maroko (315 ribu tahun silam), sedangkan beberapa fosil Homo-Erectus diketahui telah menyebar pada Jaman Pleistocene dari Afrika ke daratan Eropa, Asia, dan sekitarnya mulai 1 juta sampai 700 ribu tahun silam. Sejarah tahun peradaban Homo-Erectus dan Homo-Sapiens diketahui tumpang-tindih, artinya secara teoritis pada suatu masa ada kehidupan dua spesies manusia ini.

Lima hominid, anggota garis keturunan manusia setelah memisahkan-diri 7 – 6 juta tahun yang lalu dari garis keturunan kera—digambarkan dalam interpretasi seorang seniman (lihat gambar di atas). Semua kecuali Homo sapiens (spesies dari manusia modern) punah dan telah direkonstruksi dari bukti fosil. Makluk hidup semua berevolusi dari jenis spesiesnya bergantung pada lingkungan lokusnya dan dari jaman ke jaman. 

Teori Keturunan: 
Pada saat yang sama, dicatat, Homo sapiens memang memiliki beberapa ciri, termasuk tengkorak yang bulat dan ringan, dengan hominid sebelumnya seperti Homo-Habilis. Karena alasan ini, beberapa ahli paleontologi menganggap Homo-Habilis dan Homo-Rudolfensis yang lebih ramping, lebih dekat hubungannya dengan Homo-Sapiens daripada Homo-Erectus. Namun, pendapat ini tidak diterima secara luas. 

Sebaliknya, studi tentang ukuran dalam evolusi manusia menunjukkan bahwa perwakilan Homo-Species dapat dikelompokkan menjadi urutan Leluhur-ke-Keturunan yang menunjukkan peningkatan ukuran tubuh. Meskipun memiliki tempurung otak yang lebih berat dan lebih rata, Homo-Erectus, terutama perwakilan spesies Afrika yang kadang-kadang disebut Homo-Ergaster, tidak keluar dari urutan ini leluhur kalau misalnya Homo-Erectus tidak bisa diterima sebagai peturun langsung. Pertanyaan selanjutkan adalah kapan, dimana, dan bagaimana Homo-Erectus awal mulanya melahirkan Homo-Sapiens? 

Teori Evolusi: 
Pandangan umum yang dipegang oleh beberapa ahli palaeontologi adalah bahwa suatu spesies dapat berubah secara bertahap menjadi spesies baru berikutnya. Spesies yang berurutan dalam urutan evolusi disebut Krono-Spesies. 

Batas-batas antara kronospesies hampir tidak mungkin ditentukan dengan menggunakan kriteria anatomi atau fungsional yang obyektif. Oleh karena itu, yang tersisa hanyalah menebak-nebak menggambar batas pada saat tertentu. Batas kronologis seperti itu harus menyimpulkan antara yang terakhir selamat (survive) dari Homo-Erectus dan anggota paling awal dari spesies berikutnya (misalnya, Homo-Sapiens). Teori inipun belum memuaskan secara ilmiah. 

Perubahan bertahap (evolusi) seperti itu dengan kontinuitas antara bentuk-bentuk yang berurutan telah didalilkan terutama untuk Afrika Utara, di mana Homo-Erectus di Tighenif dipandang sebagai nenek moyang populasi selanjutnya di Rabat, Temara, Jebel Irhoud, dan di tempat lain. 

Gradualisme juga telah dipostulatkan untuk Asia Tenggara, di mana Homo-Erectus di Sangiran mungkin telah berkembang menjadi populasi seperti di Ngandong (Solo) dan di Rawa Kow di Australia. Beberapa peneliti telah menyarankan bahwa perkembangan serupa dapat terjadi di bagian lain dunia. 

Teori Perubahan Bersela: 
Transisi bertahap dari Homo erectus ke Homo sapiens adalah salah satu interpretasi dari catatan fosil, tetapi buktinya juga dapat dibaca secara berbeda. Banyak peneliti telah menerima apa yang dapat disebut sebagai pandangan bersela tentang evolusi manusia. Pandangan ini menunjukkan bahwa spesies seperti H. erectus mungkin mengalami perubahan morfologis dalam waktu yang lebih lama.

Apa pun perselisihan/perbedaan pendapat para ahli, tapi ada kesepakatan bersama bahwa Homo-Sapiens tidak muncul atau lahir tiba-tiba di bumi tanpa spesies manusia sebelumnya sebagai moyangnya. Dan persamaan pendapat ini diakui serta diterima oleh semua ahli. 

Simbah sedang cari ikan di Rawa-rawa Pati

Simbah sedang Dedek-Geni di Pantai Dukuhseti-Tayu.

Simbah Berburu Rusa di Selat Muria, Jekulo-Kudus.

Jadi untuk kepentingan penelusuran moyang Trah Wongso dalam blog ini, kesimpulan sementara yang bisa diambil adalah bahwa Fosil Homo-Erectus yang ditemukan di situs Patiayam adalah moyang dari Simbah Wongsorejo, atau moyang dari kita semua anggota Trah-Wongsorejo, Tayu-Pati. 

Jadi sudah jelas ya moyangnya simbah kita? Ya fosil Homo-Erectus yang terkumpul di situs Patiayam itu moyang kita bersama. Mereka beranak-pinak, bercucu, bercicit, berbuyut, dst, dst sampai menyebar ke daerah Dukuhseti-Tayu, Pati, dan… Hallah…, gitu aja kok repot. Wis, wis, ngopi dhisik, Lur.. sambil nyantai mengenang foto jagoanku Simbah Wongsorejo se-abad lalu.
Simbah Wongsorejo-Sakidin, Puncel-Dukuhseti, Tayu-Pati.


5. PENUTUP 

Sebagai penutup, ini ada contoh batik motif Patiayam yang dikembangkan oleh masyarakat lokal sekitar Situs Patiayam-Kudus. Siapa tahu ada yang berminat sebagai souvenir saat kunjungan ke lokasi.

Kreasi Batik Souvenir Khas Motif Patiayam
Para sedulur-sedulur semua jika berminat berkunjung ke Museum Arkeologi Patiayam, Jekulo-Kudus, atau menengok moyang kita semua dan butuh pemandu wisata sekaligus pemandu kuliner di sekitar Kudus, seperti wisata ke:
 
(1). Museum Jenang-Kudus

(2). Museum Kretek Kudus

Atau wisata kuliner makan Soto-Kudus, Garang Asem, Sate Kerbau, Nasi Pindang, oleh-oleh Jenang Kudus, dll, silahkan sedulur-sedulur kontak ke kantor Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kudus, atau link address:
https://www.google.com/search?q=kantor+dinas+pariwisata+kudus&oq=kantor+dinas+pariwisata+kudus&aqs=chrome..69i57j33i160.13112j0j7&client=ms-android-xiaomi-rev1&sourceid=chrome-mobile&ie=UTF-8

Perlu juga dikeahui, bahwa di sekitar Kota Kudus, bahkan di Kecamatan Jekulo juga masih banyak sedulur keturunan dari Trah Wongsorejo. Jadi jangan lupa di-japri sebelum berkunjung ke sana. 

Rujukan bacaan:

http://repositori.kemdikbud.go.id/1239/1/BUKU%20PATIAYAM%202016.pdf

https://www.researchgate.net/publication/307646415_Vulkanisme_kompleks_Gunung_Patiayam_di_Kecamatan_Jekulo_Kabupaten_Kudus_Provinsi_Jawa_Tengah

https://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Purbakala_Patiayam

https://www.neliti.com/publications/66011/vulkanisme-kompleks-gunung-patiayam-di-kecamatan-jekulo-kabupaten-kudus-provinsi

http://dx.doi.org/10.17014/ijog.vol3no2.20082

https://syawal88.wordpress.com/2012/05/02/situs-istimewa-patiayam-antara-vulkanisme-dan-sejarah/

https://www.merdeka.com/jateng/banyak-ditemukan-fosil-binatang-purba-ini-7-fakta-situs-purbakala-patiayam.html

https://radarkudus.jawapos.com/read/2019/04/05/129800/mengenal-situs-purbakala-patiayam-di-kaki-gunung-muria

https://www.antaranews.com/berita/1971028/penghijauan-di-pegunungan-patiayam-kudus-didukung-petani

http://www.pda.or.id/pustaka/books-detail.php?id=20080056

https://scitechdaily.com/archaeologists-discover-neanderthals-and-homo-sapiens-used-identical-nubian-technology/

https://www.britannica.com/topic/Homo-erectus/Relationship-to-Homo-sapiens

https://www.britannica.com/science/evolution-scientific-theory/The-fossil-record#ref176447

https://www.liputan6.com/news/read/250386/kudus-lacak-tengkorak-homo-erectus

https://arkeologijawa.kemdikbud.go.id/2019/05/22/patiayam-situs-pleistosen-di-pulau-jawa/

https://moeseum.blogspot.com/2019/04/ciri-penemu-dan-tempat-penemuan.html

https://www.gomuslim.co.id/read/destinasi/2017/12/10/6362/belajar-sejarah-purbakala-di-museum-patiayam.htm

http://idsejarah.net/2015/02/situs-patiaya.html

https://sains.kompas.com/read/2017/10/21/190000523/situs-sangiran-dari-jawa-mengungkap-evolusi-dunia?page=all

http://geosjepara.blogspot.com/2014/02/sangiran-patiayam.html

http://geologicalmelankolia.blogspot.com/2017/03/pembagian-skala-waktu-geologi.html

https://en.wikipedia.org/wiki/Anthropocene

https://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/anthropocene/

https://www.anthroencyclopedia.com/entry/anthropocene

https://www.merriam-webster.com/dictionary/Anthropocene

https://www.nhm.ac.uk/discover/what-is-the-anthropocene.html


https://www.smithsonianmag.com/science-nature/what-is-the-anthropocene-and-are-we-in-it-164801414/

Salam Persaudaraan,
Admin/WNS/Feb2021

Comments